Friday, November 30, 2007

Tentang Cinta, Tupai, dan Burung Pipit

Alkisah seekor burung pipit betina yang hidup nyaman bersama kedua ortu (atau lebih tepatnya burtu yah?) dan saudara2nya. Pipit yang manis dan lucu.ini di hutan berteman dengan seekor anak tupai jantan. Sedari kecil mereka selalu bermain bersama. Bermain di hutan, sang tupai berlari2 kecil di rerumputan, akar2 lembab, memanjat pohon, berlarian di dahan, melompati dari ranting ke ranting sedangkan sang pipit dengan sabar terbang mengitari sang tupai, kadang juga hinggap di ranting sembari menunggu langkah2 kecil si tupai. Ah hutan yang rimbun itu benar2 terasa indah bagi kedua makhluk kecil itu. Kadang mereka berhenti di tepi sungai kecil untuk sekedar bercerita. Nah, kalau sudah bercerita itulah mereka kadang lupa waktu, bisa berjam2 mereka ngobrol dengan asyiknya. Mereka benar2 seperti teman bermain sekaligus teman mengobrol yang tak dapat dipisahkan. Pertengkaran bukannya tak pernah terjadi, tapi pada akhirnya mereka selalu berbaikan kembali.

 

Saking dekatnya mereka berdua, kadang si tupai berpikir, hm mungkin suatu waktu si pipit ini akan menjadi belahan jiwanya, kekasihnya, untuk hidup bersama kelak, yah mungkin inilah yang dinamakan cinta monyet (atau cinta anak tupai?). Tapi kemudian si pipit lah yang menyadarkan si tupai bahwa hal itu tidak mungkin terjadi. Tak mungkin tupai dan pipit menjdi sepasang kekasih. Akhirnya tupai pun mengerti, tidak ada masalah bagi si anak tupai yang masih kecil untuk menerima kenyataan itu, toh dirinya masih kecil, belum ada rasa cinta yang bisa tumbuh dalam hati selayaknya tupai dewasa. Waktu pun berlalu, pipit kecil itu harus pergi meninggalkan hutan untuk pergi hutan lain, bermigrasi bersama keluarganya untuk mecari cadangan pangan telah menipis di hutan tersebut. Tentu saja hal ini membuat si tupai sedih, tetapi dia berusaha untuk terlihat tegar, memanjat pohon tertinggi untuk mengikuti kepak sayap para burung pipit, setelah mengucapkan salam perpisahan, keluarga pipit pun mengangkasa, tinggi, jauh hingga tak telihat lagi ke langit biru.

 

Selang berapa lama kemudian, keluarga pipit  kembali ke hutan mereka. Ah sengangnya sang tupai, ternyata perpisahan kemarin bukanlah untuk selamanya. Sekarang keluarga pipit telah kembali, agak pangling juga si tupai melihat si pipit telah tumbuh menjadi seekor burung pipit yang sangat cantik. Akhirnya mereka pun berjalan2, hingga tiba di tepi sungai, mengobrol panjang lebar melepas kerinduan. Ah, ternyata si pipit telah mengenal cinta. Dia sempat menjalin kasih dengan pipit jantan di hutan tempat keluarganya bermigrasi. Ah cinta, kemana saja si tupai selama ini, dia belum pernah mencicipi manis dan pahitnya cinta. Dia pun bertekad, untuk menacari cintanya, entah bagaimana caranya. Ah, tapi rasanya tidak perlu lah, toh cinta itu tentang perasaan, suatu saat pasti dia juga akan bertemu dengan seekor tupai betina, pujaan hatinya, yang menerimanya sebagai kekasih, teman hidupnya.

 

Ternyata memang benar, si tupai pun tumbuh dewasa dan bertemu dengan pujaan hatinya. Seekor tupai betina yang sangat cantik, mungil dan lucu. Seseorang eh seekor yang sangat spesial di hatinya, yang akan menemani si tupai dalam mengaruhi bahtera hidup ini. Lalu bagaimana dengan burung pipit yang kini juga telah menjadi dewasa. Sudah beberepa kali dia menemukan pujaan hatinya, tapi sayang hubungan mereka tidaklah berjalan mulus, sudah beberpa kali pula dia meninggalkan dan ditinggalkan kekasihnya. Masalah menjadi lebih ruwet ketika sang ortu pipit sangat selektif dalam menerima pasangan untuk anak2nya. Ingat nduk, bibit bebet bobot, begitu pesan ortunya. Seringkali kekasih yang diperkenalkan si pipit ternyata tidak memenuhi kualifikasi yang telah ditetapkan ortunya. Si pipit, yang tidak ingin mengecewakan ibunya, tak kuasa untuk meneruskan hubungannya. Dari luar dia memang terlihat tegar tapi di dalam hatinya hancur berkeping2. Di luar mungkin ia tersenyum, tapi di dalam hatinya dia mengangis tersedu sedan. Tak ada yang tahu tentang perasaan ini, kecuali si tupai yang setia mendengar keluh kesah dan galau hatinya.

 

Waktu terus berjalan, saat2 bagi si tupai untuk meninggalkan sarangnya dan hidup bersama pasangan hidupnya pun semakin dekat. Tapi si pipit belum juga berhasil mendapatkan seekor pipit jantan untuk menjadi kekasihnya. Dalam putus asanya si pipit berujar, oh ibu janganlah engkau mati dan meninggalkan diriku ini, aku tidak ingin nanti harus hidup sendirian. Seketika itu juga, hati si tupai pun turut hancur berkeping2, dia sedih dan tidak harus berkata apa. Yah, si tupai pun bisa merasakan pedihnya hati yang dirasakan oleh si pipit. Selama ini mereka telah sangat dekat, lebih dari sekedar sahabat, walaupun juga tidak selayaknya sepasang kekasih.

 

Kalau saja si tupai boleh mnyuarakan isi hatinya, mungkin dia akan berucap:

Oh Pipit wahai sahabat, maafkanlah aku akan pergi jauh, tapi aku mohon izinkanlah aku pergi, untuk menjalani hidupku, untuk menjadi tupai dewasa yang seutuhnya. Mungkin takkan pernah ada lagi obrolan seru di tepi sungai yang sejuk dengan semilir angin yang perlahan berhembus. Mungkin tak ada lagi permainan di tengah hutan sambil berkejaran diantara rumput, daun2 kering dan ranting basah. Semua itu akan hilang, sahabatku, hilang ditelan kejamnya waktu. Tetapi yakinlah, memori saat kita kecil dulu akan terus hidup dalam hatiku, sebagai kenangan indah yang tak akan terlupakan. Maafkanlah aku, kalau selama ini telah benyak berbuat salah kepadamu. Maafkan, karena telah tiba waktuku untuk pergi dari sarangku yang selama ini telah setia menaungiku. Tegarlah wahai sahabatku, karena aku yakin, kau pun harus yakin, kita semua harus yakin, bahwa bila nanti saatnya telah tiba, kau akan menemukan tujuan hidupmu, bersama pasangan hidup yang selalu kau dambakan. Aku percaya.. Aku percaya… Sekarang, maukah kau percaya juga?

 

Tupai pun pergi, dengan langkah kecilnya, meninggalkan semua masa lalu di belakangnya. Dengan segenap keyakinan, bersama separuh jiwanya, yang kini melangkah pasti di sisinya.

6 comments:

  1. Dearest Cimoti Dalton,

    Hiks.. meski dengan berat hati, g ngucapin selamet jalan.. Asli g nangis baca blog-nya. Is that story inspired by us? Iya, g percaya.. suatu saat akan menemukan partner yang nggak akan lelah, yang bisa menyemangati g untuk nggak lelah meneruskan perjalanan yang kadang nggak mudah ini...

    Jiayo!!!

    ReplyDelete
  2. aduh miun... speechless, sori banget yah, ceritanya terlalu banyak gua dramatisir, way toooo much :)

    Yup, semangat terus yah...!!!

    ReplyDelete
  3. Hihihiaaarrrr!!! Ayo kita bisnis buku cerita fables.. U kind have a talent!!

    ReplyDelete
  4. hahaha waduh gua kan cuma amatiran... lagian fabel kok ceritanya gloomy bgt :) sobbing mode on

    ReplyDelete
  5. lho..ya gapapa fabel gloomy
    coba contoh animal farmnya orwell, itu malah novel fabel satire tentang revolusi bolshveik

    eh...tunggu...animal farm termasuk fabel ga yah ? tapi tokoh2nya hewan yang menggulingkan kekuasaan manusia..mungkin bisa masuk ke fabel :p

    ReplyDelete
  6. oh... seperti pompokonya hayao miyazaki, tapi sekumpulan racoon itu gagal menggulingkan dominasi manusia :)

    ReplyDelete