Sunday, October 11, 2009

Michael Jordan #2 Sang Legenda Bola Basket




Bersama Chicago Bulls, Michael Jordan dan seluruh rekannya berhasil meraih gelar juara pertama NBA mereka dengan susah payah. Tapi pada momen itulah sepertinya terjadi sebuah titik balik. Mereka kesulitan untuk meraih gelar pertama, tetapi setelah berhasil diraih, sepertinya tak ada lagi yang mampu menghalangi jalan mereka menuju gelar juara berikutnya. Tak tanggung2, mereka meraih threepeat. Menjadi juara NBA selama tiga tahun berturut2 adalah suatu prestasi yang amat fenomenal. Dan Michael Jordan pun bangkit menjadi seorang legenda.

 

Tetapi sayangnya, berhasil menjadi juara bersama Chicago Bulls sebanyak 3x tidak membuat MJ menjadi bahagia. Ketenaran dan kekayaan yang berhasil diraihnya tidak berhasil mengisi kekosongan di hatinya. Dia merasa bosan bermain basket. Olahraga yang dahalu amat sangat dicintainya itu kini sudah tidak menantang lagi baginya, tidak ada lagi yang bisa dibuktikan. Dalam kegalauan hatinya, ia pun berkonsultasi dengan sang ayah tercinta, mencurahkan segenap gundah di hatinya.

 

“Cobalah hal yang baru, baseball, mungkin?”

 

Rupanya itu nasihat terakhir yang diterima MJ dari sang ayah, tak lama, terjadilah hal tragis itu. Sang ayah tewas mengenaskan, menjadi korban pembunuhan. MJ yang sedang goyah hatinya, kini makin makin mantap untuk menjalankan nasihat terakhir dari sang ayah. Hijrah dari bola basket dan beralih menjadi pemain baseball. Dan dunia pun menertawakannya. Tentu saja kemampuan MJ bermain baseball masih sangat jauh dari kualitas seorang bintang. Tapi toh ia tak mau menyerah begitu saja. Ia selalu berlatih baseball lebih lama daripada pemain lainnya, berusaha untuk beradaptasi dan meningkatkan performa permainannya.

 

Tetapi apapun yang terjadi, Michael Jordan memang tercipta untuk bermain basket. Baru setahun ia meninggalkan dunia yang dicintainya itu, kerinduan akan kepiawaiannya memasukkan bola ke dalam keranjang menyerangnya tanpa ampun. Dan sang bintang itu pun kembali, tidak dengan hati yang kosong, melainkan dengan semangat yang meletup2 untuk membawa kembali timnya, Chcago Bulls menuju puncak papan atas tim bola basket NBA. Sebuah tim yang selalu membuka pintu untuknya, kapan saja MJ siap untuk kembali.

 

Kembali dengan nomer 45, Jordan langsung menghentak dan berhasil membawa timnya menuju babak playoffs. Tapi malang tak dapat ditolak, cuti setahun yang diambilnya ternyata berdampak buruk. Bulls tak kuasa menahan terjangan Orlando Magic yang berisikan pemain2 muda penuh semangat juang yang tinggi. Bahkan beralihnya MJ ke nomer seragam 23 pun, tetap membuat Bulls takluk di tangan Shaquile O’Neal dkk. Terbukti nomer keberuntungan takkan sanggup mengantarkan MJ dan timnya meraih supremasi tertinggi. Bukan nomer, bukan pula sepatu mahal. Terbukti, hanya kerja keras dan semangat pantang menyerah yang bisa membawa mereka menjadi juara.

 

Kekalahan itu memang sangat menyakitkan. Seluruh dunia pun berseru, Michael Jordan sudah habis dan kehebatannya tinggal kenangan. Dan lucunya, saya pun, dengan berat hati mengakui, termasuk yang percaya dengan hal itu. Era MJ sudah berakhir, sudah waktunya digusur oleh pemain2 mudah penuh harapan lainnya.

 

Tetapi bukan MJ namanya kalau menyerah begitu saja. Seusai kakalahan yang tragis dari Orlando Magic, ia kembali berlatih dengan keras untuk mengembalikan performanya. Walaupun tak bisa kembali ke asal tentunya, karena bagaimanapun juga, usia turut mempengaruhi kemampuan fisiknya.

 

Tapi toh kerja kerasnya selama musim liburan itu telah membawa hasil yang memuaskan. Karena di tahun berikutnya ia berhasil membawa timnya untuk menjadi juara NBA yang keempat kalinya. Tak puas hanya sampai di situ, MJ lagi2 kembali berhasil membawa Bulls meraih gelar juara NBA selama 3 tahun berturut2. Double Threepeat istilahnya, walapun threepeatnya kali ini tak semudah kali pertamanya. Tapi yang lebih dramatisnya, tembakan terakhir yang dilakukan Jordan ke jaring lawan menjadi angka terakhir yang menentukan guna membawa Bulls menghempaskan Utah Jazz untuk menjadi juara NBA yang keenam kalinya sebelum MJ pensiun.

 

Ya itulah Michael Jordan, bersamanya Bulls berhasil meraih enam kali juara NBA. Suatu prestasi yang sangat fantastis. Sebuah pencapaian yang hanya bisa diraih oleh bakat, kemauan untuk mengasahnya, determinasi tinggi dan tentu saja…

 

Kerja Keras.

Michael Jordan #1 Awal Sebuah Kebangkitan



Tahun ini, tepat 10 tahun yang lalu, sang maestro bola basket yang tak lain dan tak bukan adalah seorang Michael Jordan sendiri, secara resmi mengundurkan diri dari dunia perbolabasketan (atau yang di Amerika lebih dikenal dengan NBA, National Basketball Association). Di jamannya dahulu, mulai dari era 80-90an, siapa sih yang tak kenal MJ? Mulai dari anak2 hingga orang dewasa pasti mengidolakan beliau. Dunia pun diserang wabah demam bola basket dan NBA, semua orang ingin menjadi Jordan. Ya slogan itu, I wanna be like Mike.

Entah kenapa, tiba2 kemarin saya jadi teringat dengan MJ. Tiba2 saya ingin sekali menyaksikan aksinya  bermain bola basket. Agak sulit memang, kalau saja tidak ada internet hehehe untunglah sekarang keadaannya berbeda, tinggal cari2 di internet, download, dan saksikan… Itu sudah ^_^ Mau melihat slam dunk kontes MJ Vs Dominiq Wilkins? Hmm ini yang sulit, gagal saya menemukannya. Tapi coba lihat di youtube, wah ternyata ada, cukup lumayan pula kualitasnya. Tanpa ragu Orbit Downloader pun saya gunakan. Tak berapa lama video di Youtube itu pun sudah bersemayam di hardisk saya.

Oops jadi ngelantur, kembali ke MJ. Setelah menyaksikan 2 film dokumenter MJ (hasil illegal download tentunya) itulah akhirnya saya lebih mengenal beliau. Dahulu, ketika saya masih sekolah dan kuliah, yang saya tahu hanyalah kehebatan MJ dalam bermain basket. Berhasil membawa timnya, Chicago Bulls 6 x meraih gelar juara NBA. Yang saya tahu dulu, MJ adalah seorang manusia super yang tak terkalahkan, anak ajaib yang hanya dilahirkan 1x dalam 1000 tahun. Lompatannya yang sangat tinggi di atas rata2 manusia biasa, membuatnya dijuluki Michael Air Jordan. Siapa saja pasti terkesima jika melihat slam dunk fenomenalnya yang dilakukan dari garis free throw.

Tapi ternyata, di balik semua itu, MJ hanyalah seorang manusia biasa. Lahir dari keluarga biasa pula. Seorang anak yang hobi bermain basket di lapangan dekat rumahnya bersama sang kakak. Apakah waktu kecil MJ sudah jenius dalam bermain basket? Aha, ternyata tidak. Kala itu, MJ selalu kalah bila bertanding melawan kakaknya. Tetapi justru semua kekalahan itu yang memicu semangat MJ untuk terus berlatih da berlatih. Hingga akhirnya dia berhasil membawa kampusnya menjadi juara NCAA (liga basket universitas).

Singkat cerita, setelah 2x membawa kampusnya menjadi juara, MJ memutuskan untuk melangkah ke jenjang profesional dan direkrut oleh sebuah tim NBA, Chicago Bulls. Nama Jordan langsung melambung tinggi. Dia adalah seorang pemain yang lengkap, sangat bagus dalam bermain bertahan dan apalagi menyerang. Dia tak hanya piawai dalam mencetak poin melalui shooting, slam dunk maupun lay-up shoot. Tetapi juga ulet dalam menjaga pertahanan, cukup banyak steal, block, maupun rebound yang dikumpulkannya.

 

Tapi tetap, MJ adalah seorang manusia biasa, walaupun tak ada seorangpun yang meragukan kemampuan individunya, masih ada satu hal yang mengganjal. Dia belum berhasil membawa timnya menjadi juara NBA, belum ada cincin juara yang melingkar di jarinya. Langkahnya selalu terhenti di final wilayah timur. Ketika Detroit Pistons harus berhadapan dengan Chicago Bulls di final playoffs wilayah timur, mereka dengan entengnya sesumbar

 

“Tidak ada yang tidak mungkin, kami bisa kok menghentikan seorang MJ”

 

Begitu kira2 ucapan mereka. Dan akhirnya Pistons memang bisa membuktikan ucapan mereka, MJ diberikan penjagaan khusus untuk mematikan ruang geraknya. Lagi2 Bulls gagal, jangankan meraih juara NBA, juara wilayah timur saja gagal mereka raih. Kekalahan 3 tahun berturut2 di final wilayah timur melawan Detroit Pistons tentu saja membuat MJ frustasi. Impian Bulls untuk bisa berlaga di final NBA lagi2 kandas di tangan Isiah Thomas dkk.

 

Musim berganti, semua kekalahan menyakitkan yang dialami oleh Bulls akhirnya cukup membuat MJ tersadar, untuk meraih gelar juara, seorang MJ takkan pernah cukup. Untuk melawan tim hebat yang lolos ke babak playoffs memang diperlukan kerja sama tim yang kompak. Saat inilah kebangkitan MJ menuju kedewasaan dimulai. Dari seorang dengan kemampuan inidvidu yang brilian, ia bertransformasi menjadi seorang pemimpin yang mumpuni. Dia mengesampingkan semua ego masa kanak2nya dan mulai membangun kerjasama dengan timnya. Toh di Bulls tidak hanya ada Jordan, masih ada Scottie Pippen, Horace Grant dan lainnya.

 

Dan lagi2 Bulls bertemu dengan Pistons di final wilayah timur. Tapi kali ini tentu saja sudah berbeda, Jordan hanya tersenyum ketika diberi pengawalan khusus, karena itu berarti dia bisa leluasa memberikan assist kepada rekan2 satu timnya untuk mencetak angka. Dan tentu saja semua orang tahu, jika suatu tim memberikan pengawalan khusus kepada satu pemain, harus ada yang dikorbankan, pemain lain menjadi lebih leluasa mencetak angka. Pistons terperangah dengan perubahan gaya permainan Bulls dan tak ayal lagi, mereka takluk (kalau tidak bisa dibilang dibantai) oleh keperkasaan Chicago Bulls.

 

Saat Bulls berhasil mengalahkan Pistons itulah lembaran baru dimulai, mereka, bersama sang kapten, Michael Jordan, telah menjadi tim yang sangat solid dan sukar untuk dikalahkan. Bahkan LA Laker dengan Magic Johnsonnya pun tak kuasa untuk membendung laju the new emerging forces ini. Bulls pun meraih gelar juara NBA untuk pertama kalinya.