Wednesday, December 24, 2008

Sedikit Renungan di Hari Ibu

"Bunda ingin tinggal di panti jompo saja nak, di sini sepi."

Seketika itu juga, drinya bagai disambar petir di tengah hari bolong mendengar kata2 lirih yang mengalir dari mulut sang ibu. Sebagai anak dia merasa telah gagal untuk membahagiakan ibunya. Betapa tidak, kalimat yang diucapkan dengan lemah lembut itu terasa sangat keras menampar mukanmya, menusuk hatinya yang paling dalam. Kalimat pendek yang diucapkan oleh seseorang yang dia pikir paling dicintainya. Kalimat sederhana yang mengalir hanya beberapa hari menjelang Hari Ibu.

Pernah ia merasa sombong bahwa kini ia telah mejadi anak yang berhasil, punya pekerjaan bagus, istri yang cantik dan anak yang lucu. Dia pikir dia telah berhasil membahagakan ibunya. Tapi kenyataan toh berkata lain. Sang ibu merasa kurang diperhatikan, sehingga panti jompo seakan2 terlihat menjadi tempat yang lebih nyaman. Ah Bunda, kau selalu ada ketika aku membutuhkan dirimu, tapi kemanakah aku saat kau membutuhkan sekedar perhatian dari anakmu, yang kau lahirkan dan besarkan dengan penuh perjuangan dan pengorbanan?

Dengan hati remuk redam, sang anak kembali ke rumahnya. Kembali ke tempat kerjanya yang dia pikir adalah segalanya.. Hanya untuk membuka sebuah e-mail dari seorang sahabat. Matanya nanar, hatinya hancur saat membaca e-mail singkat yang bertuliskan...

Ibu melahirkan kita sambil menangis kesakitan. Masihkah Kita menyakitinya? Masih mampukah kita tertawa melihat penderitaannya? Mencaki makinya? Melawannya? Memukulnya? Mengacuhkannya? Meninggalkannya? Ibu tidak pernah mengeluh membersihkan kotoran kita waktu masih kecil, Memberikan ASI waktu kita bayi, Mencuci celana kotor kita, Menahan derita, Menggendong kita sendirian. SADARILAH bahwa di dunia ini tidak ada 1 orangpun yang mau mati demi IBU, tetapi Beliau justru satu-satunya orang yang bersedia mati untuk melahirkan kita.


Kata2 sang ibu dan pesan pendek di e-mail kembali terngiang dalam pikirannya saat ia pulang kerja, melihat seorang ibu muda dengan susah payah turun dari angkot dengan menggendong kedua anaknya. Ya dua anak, yang satu mungkin berumur 4 tahun, dan adiknya, ah mungkin sekitar 2 tahun. Dalam mobilnya yang nyaman dia melihat jalanan yang becek karena hujan deras yang mengguyur beberapa jam sebelumnya. Ah, sang ibu pasti tak ingin anaknya terkena becek, kotor, atau terpeleset di jalan yang licin. Badan ibu itu begitu mungil dan harus menggendong 2 anaknya. Itulah teman, rasa cinta yang sebenarnya. Cinta sejati seorang ibu untuk anak2nya.

Dari pikirannya, tiba2 raut wajah ibunya sekelebat muncul sangat jelas di hadapannya.


Hapuslah air matamu nak, Bunda tahu kau telah memberikan yang terbaik untuk ibumu yang sudah tua renta ini.

Segurat senyum itu, tak ada yang lebih membahagiakan baginya saat melihat senyum dari sang Ibu. Sebuah senyum tulus yang penuh cinta, keikhlasan dan kemahfuman.

2 comments:

  1. semoga kita bs mengambil hikmahnya?

    ReplyDelete
  2. ya semoga... jangan pernah merasa kita telah membahagiakan ortu. Karena usaha kita untuk itu ngga ada apa2nya dibandingkan dengan perjuangan mereka untuk kita selama ini

    ReplyDelete