Thursday, December 6, 2007

Tentang Halte, Hujan, dan Kenangan

Hujan deras di tengah kemacetan yang mengguyur kota saat ini mengingatkanku padamu. Kutolehkan kepalaku ke kiri, dari jendela kaca kulihat halte itu kosong. Ah, udara dingin di luar, ditambah dengan hembusan air conditioner ini seakan membuat jemari tangnku membeku. Kulihat birunya kuku, mungkin sama birunya dengan hatiku. Entah kenapa bayangmu selalu menghantuiku. Kulihat di halte itu, oh tidak, kenapa yang kulihat malah dirimu yang selalu setia menungguku.

 

Pikiranku melayang lagi, di kala hujan, ketika payungku terbuka lebar menaungi kita berdua. Ah kenapa juga hujan itu identik dengan romantis? Sampai ada seorang dewi yang rela berbasah2 mencumbui butiran air yang turun dari langit itu. Cinta, memang kadang mematikan sebagian indera kita, yang terasa hanya kehangatan saat aku berdekatan denganmu di bawah payung mini itu. Yang sebenarnya terlalu kecil untuk melindungi kita berdua dari hujan yang deras menghujam.

 

Pikiranku meninggalkan masa lalu, kembali ke masa kini, mataku tajam terpancang pada halte di sebelah kiriku, lagi. Kosong, Kau tidak ada di sana, ya karena kau hanya ada di hatiku, jauh di dasar, di alam bawah sadarku. Biarlah, mungkin aku memang tak bisa melupakanmu, entah seberapa kuat dan gigih kuberusaha untuk melupakanmu. Kau selalu datang untuk menyambangi hatiku. Kau selalu menempati sepotong kecil ruang di hatiku. Kecil memang, tapi tetaplah ada.

 

Aku menyadari mungkin kau telah tenang, tinggi di langit biru. Tapi biarlah kau terus hidup dalam memoriku, paling tidak sampai aku menghabisi masaku di dunia ini. Percayalah, aku tidak akan pernah bisa melupakanku, karena kau pernah sesaat menjadi bagian dari hidupku. Aku sadar, tangisku pun takkan pernah cukup untuk melepaskan kepergianmu. Karena saat inipun, tak kuasa aku menahan butiran itu meluncur di pipiku yang lembut.

 

Cepat2 kuhapus, biarlah halte itu tetap berada di sana. Kulihat ke depan, masih mobil yang sama. Kulihat ke kanan, dia tersenyum, kuharap dia tak melihat mendung yang juga berarak di hatiku, aku balas tersenyum. Sekarang, dialah masa kini dan masa depanku. Dialah di mana harapan hidupku bersandar. Dia juga manusia sempurna bagiku, bukan hanya sekedar pengganti. Pelita hatiku di kala mendung datang menerpa.

 

Karena hidup itu untuk disyukuri dan dijalani, tidak hanya sekedar untuk ditangisi apalagi disesali.

2 comments:

  1. uhuhu..postingannya selalu membuat rindu..
    telpon aah..:p

    ReplyDelete
  2. nah ini... yang bikin gua binun, sumpah... hahaha ;p

    ReplyDelete